Home » » CERPEN – Tiza Gak Mau Punya Adik

CERPEN – Tiza Gak Mau Punya Adik

Tiza Gak Mau Punya Adik - Aku menatap botol parfum kesayanganku yang pecah di lantai. Segala amarah berkecambuk di pikiranku  namun masih dapat berfikir tentang siapa yang bersalah atas kejadian ini, “Chicaaaaaaaa!!!”

Aku berteriak memanggil satu – satunya orang di rumah ini yang mungkin melakukan ini semua “Chicaaaaaaaa!!!”. Sesosok tubuh yang cuma sepertiga dari tinggiku masuk ke dalam kamar dengan takut – takut. “Kenapa, Kak?”

Aku segera menarik bajunya dengan mengarahkannya ke tempat dimana botol parfumku itu pecah dan cairan di dalamnya mengotori lantai dan karpet kamar. “Pasti kamu yang mecahin botol parfum gue! Iya, kan?” bentakku tidak sabar lagi. “Ng….. i-ya-iya, Kak. Gak sengaja…..,” katanya pelan.

“uhhhhhhhh!!!!!!!!” Aku mencubit lengannya dengan geram. “Kamu pikir itu parfum murah? Kamu pikir Cuma segampang itu bilang ‘gak sengaja’? Enak banget udah mecahin parfum gue, eh ditinggal begitu saja. Di bersihin kek, di rapiin kek, minta maaf kek!!”.

“Maafin CHica ya, Kak,” Chica merunduk gemetar, tidak berani menatap wajahku.
“Dasar bego!!” runtuhku kesal. “Pokoknya kamu bersihin tumpahannya. Trus beliin parfum kayak gitu lagi. Minta sama ibu kamu.”

Chica buru – buru ke luar kamarku dan mengambil lap untuk membersihkan tumpahan parfum itu dan ketika kembali ke kamarku dia sudah bersama ibunya.

“Ada apa sih, Sayang? Kok kamu teriak – teriak?” Tante Dewi melihat sekeliling kamarku, berusaha menemukan apa yang telah menyebabkan aku rebut dengan Chica. “Tuh, anak Tante. Seenaknya masuk  kamar orang, mecahin parfum yang paling mahal, udah gitu enggak punya inisiatif buat ngelapin tumpahannya.”

Tante Dewi menatap Chica. “Kamu masuk ke kamar Kakak Tiza sembarangan, ya?”
“Tadi aku cuma mau liat boneka – boneka Kak Tiza kok, Ma. Tapi aku enggak liat ada botol parfum di situ, terus botolnya jatuh. Tapi aku enggak sengaja. Bener kok, Ma.”

Chica memandang ibunya, berusaha meyakinkan bahwa hal itu bukan sebuah kesengajaan. “Tetap saja, lo masuk sembarangan ke kamar gue tanpa ijin,” Sungutku. Tante Dewi kemudian mengambil lap di tangan Chica. “Ya, sudah, sini Mama aja yang bersihin. Chica makan siang aka bareng Kak Tiza, ya.”

Chica langsung berlari secepat mungkin ke ruang makan sementara Tante Dewi berkata padaku. “Maafin Chica ya, Sayang. Nanti Mama ganti parfumnya.” Aku melengos mendengar ucapan Tante Dewi  dan segera ke ruang makan untuk makan siang. Chica, adik tiriku yang masih berumur enam tahun itu, belum berani menatap wajahku tapi ia mengambilkan piring yang berisi nasi seraya berkata, “Kak, ini nasinya.”

Aku menatap Chica dan piring nasi pemberiannya dengan benci. “Jangan sok baik lo, pake nawarin nasi segala. Gue lagi diet makanya gak makan nasi. Makanya jadi anak kecil jangan sok tau.” Dengan kekecewaan yang tampak sekali diwajahnya, Chica menarik lagi piring nasi yang ia sodorkan. Meskipun begitu aku tetap tidak mau peduli. Sejak tiga tahun yang lalu dia dan ibunya dating ke kehidupanku, aku jadi benar – benar tidak bahagia. Jadi buat apa memikirkan perasaan Chica kalau justru dia dan ibunya sama sekali tidak memperhatikan perasaanku.

Waktu aku berumur tiga belas tahun, keluargaku mengalami kecelakaan mobil. Cuma aku dan papa yang selamat, sedangkan Mama dan adikku Lila, yang masih berumur lima tahun tidak bisa dipertahankan. Sebenarnya aku bisa menerima kenyataan, toh kasih sayang papa masih cukup buatku. Tapi kemudian ada Tante Dewi yang mulai berani masuk ke dalam kehidupan kami berdua. Tante Dewi itu karyawan took papa, janda dengan anak yang masih berumur tiga tahun. Bagi papa, Tante Dewi dianggap cocok untuk menggantikan Mama, lalu anaknya yang bernama Chica selalu dianggap sebagai pengganti Lila.

Gak ada yang bisa menggantikan Mama dan Lila. Bahkan si anak sialan yang bernama Chica itu. Tingkah lakunya bikin sebel, dari hari pertama dia tinggal disini aja dia udah minta yang macem – macem. “KakTiza main, yuk,’ ‘Kak Tiza, aku bobo di kamar kakak, ya?’, ‘Kakak, bantuin aku ngerjain pe-er,yuk.’ Blah, blah, blah….., semua tingkahnya mencari perhatian, dia pikir aku bisa menyukai dia barangkali. jangan harap. Dia enggak akan bisa menggantikan adikku, Lila.

Baru kemaren aku mencubit lengan Chica sampai merah, yang pada akhirnya membuatku kena marah Papa dan dilarang nonton selama seminggu kecuali aku minta maaf ke Chica (sesuatu hal yang tentu saja tidak akan aku lakukan). Papa tidak habis pikir kenapa aku tega mencubit Chica, padahal ia jauh lebih kecil dibandingkan aku yang sudah SMA. Tapi aku tidak mau bilang kenapa, karena Papa pasti tidak mau mengerti. Papa sudah terlalu sayang sama Chica, sampai – sampai aku merasa kasih sayang Papa lebih banyak ke Chica yang cuma anak tiri.

Walaupun setelah dipikir – pikir, sebenarnya aku tahu mengapa aku tidak mau member tahu Papa mengapa aku mencubit Chica sampai ia terisak pelan – pelan karena menahan rasa sakit. Ini gara – gara beberapa malam belakangan Chica selalu ke kamarku dan meminta ijin untuk tidur di kamarku, dan pada malam itu aku tidak sabar lagi saat Chica kembali bertanya “Kak Tiza, aku boleh gak bobo sama kakak di sini?” Akibatnya aku mencubit tangan Chica kuat – kuat dan mengusirnya ke luar dari kamarku. Rupanya, isakan Chica terlihat Papa. Aku kena marah. Huff, dan hari ini Chica berulah lagi dengan memecahkan botol parfum kesayanganku. Kalau aku mencubitnya lagi pasti aku akan kena hukuman untuk kedua kaliny. Gak adil.
Tereng…. terengtereng

Aku buru – buru menganbil handphone-ku dan menyahut, “Iya, Liv?”
Di seberang sana Livia, sahabatku. “Tiz, besok jadi anterin gue belanja, kan?”
“Iya, iya..”
“See You, then.”
“Umm…., Kak,” Chica menyela lamunanku . “Dekat sekolah Chica ada yang jualan es krim juga, lho. Kak Tiza mau aku beliin, gak? Kalau mau besok aku beliin deh abis pulang sekolah. Kata teman – teman Chica, es krimnya enak. Tapi Chica belum pernah beli, soalnya tokonya ada di seberang jalan raya. Chica takut kalau nyeberang, jalannya rame…..”

“Brisik!” sergahku. “Siapa suruh lo nguping pembicaraan orang. Iya, gue emang mau es krim, tapi ogah banget kalo yang beliin itu lo. Gak usah sok baik deh, percuma aja lo nawarin kayak gituan, gue juga mampu beli sendiri…..! Kayak lo punya duit aja…, anak SD kayak lo kan uang jajannya cuma bisa buat beli gorengan di pinggir jalan….!”

Chica terdiam mendengar ucapanku, tapi ia sempat berkata pelan sebelum akhirnya diam. “Aku kan punya uang tabungan….”
“Diem lo!” bentakku.

***

Livia menepati janjinya, begitu bel sekolah berbunyi ia langsung bergegas ke kelasku. Dengan diantar kakak perempuannya, kami menuju salah satu mall terbesar di Jakarta untuk belanja. Asyiknya lagi, selesai belanja, Livia mentraktirku es krim dan wafel di sebuah konter yang menjual produk susu dan yogurt. Double Choco Wafel plus es krim vanilla sudah siap disantap di hadapanku. Sedang asik – asiknya menikmati pesananku sambil ngobrol, tiba – tiba percakapan kami terputus oleh bunyi telepon genggamku. Papa, aku membaca identitas pemanggil di layar handphone-ku. “Iya, Pa!”

“Kamu di mana sekarang?” Papa terdengar gusar di ujung telepon. Apa – apaan, sih? Baru juga pergi belanja sebentar, lagi pula ini kan belum terlalu sore. “Di mall dekat sekolah, belanja bareng Livia,” jawabku sebal.

“Papa jemput sekarang!  Kamu tunggu di depan gerbang mall, ya. Lima belas menit lagi sampai sana!” Lalu papa mematikan sambungannya. “Idih…..! Bokab gue nggak asik banget, deh! Masa baru pergi sebentar, eh udah dijemput aja! Sory ya, Liv! Gak bisa lama – lama, nih.” Aku meraih tas sekolahku dan menghabiskan es krim di depanku secepat yang aku bisa. Hanya beda lima menit setelah aku menunggu di gerbang mall, Papa sudah tiba. Aku masuk mobil dengan setengah ngambek. “Aku kan baru jalan – jalan sebentar, Pa.”
“Bukan itu, sayang. Kita harus cepat – cepat ke rumah sakit,” kata Papa, berusaha tidak kelihatan terlalu panic. “Mama kamu tadi telepon ke toko. Katanya Chica ketabrak mobil saat lagi nyebrang jalan di depan sekolahnya.” Sedikit sentakan mendera jantungku. “Lho, kalo pulang Chica gak pake nyebrang, kan? Ada mobil jemputan, kan?”

“Iya, tadi Mama juga udah konfirmasi ke supir jemputannya. Kata supirnya begitu bel sekolah, Chica enggak kelihatan di mana – mana. Tiba – tiba aja ada keramaian di depan toko es krim di seberang jalan, ternyata Chica sudah tergeletak di jalanan. Mobil yang menabrak Chica langsung kabur.”

Sedikit perasaan bersalah muncul di hatiku. Bagaimana mungkin? Chica bilang dia enggak berani  nyebrang. Entah mengapa perasaan bersalah ini makin kentara di hatiku apalagi ketika tiba di rumah sakit  dan menemukan tubuh kecil berbaring lemah di atas ranjang. Kakinya terbalut perban dan kepalanya penuh goresan di sana – sini. Ada selang yang menancap di ujung tangannya. Sosok dengan keadaan seperti itu mengingatkanku pada tubuh yang sama tiga tahun yang lalu. Lila juga beperti itu keadaannya ketika terbaring kritis di rumah sakit sampai akhirnya tiga hari kemudian ia tidak mampu bertahan.

Tante Dewi segera memelukku sambil manangis. Pelukan yang sebenarnya bisa ku lepaskan dengan jijik di situasi biasa, namun sekarang keadaannya berbeda. Anaknya yang baru berumur enam tahun terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Papa hanya mampu berdiri di depan Chica, mengusap rambutnya dan menatap dengan nanar. Tatapan yang sudah dapat ku baca karena tatapan itu lebih perih disbanding tiga tahun yang lalu, kini Papa harus mengalami situasi serupa lagi, situasi dimana maut tengah mengincar anak bungsunya.

Kemudian terlihat olehku, sebuah bungkusan plastik putih yang berada di bawah latai dekat ranjang Chica terbaring. “Apa itu, Tante?” tanyaku. Tante Dewi mengusap matanya. “Kata orang – orang yang membawa Chica ke sini, bungkusan itu dibawa Chica saat ia tertabrak mobil. Itu es krim. Ada dua kotak besar,” sambil terisak lagi, Tante Dewi melanjutkan. “Sebelum pingsan, kata mereka Chica sempat bilang kalau es krim itu untuk kakaknya dan menolak untuk melepaskannya karena sudah janji untuk memberikannya ke kakaknya.”
Air mata mulai merebak di pelupuk mataku. Anak nakal itu….., aku menjerit dalam hati! Tercabik antara perih dan sedih yang tiba – tiba datang, sudah tahu jalanan ramai, masih aja dia nyebrang. Tanpa sadar aku meraih bungkusan itu dan mengintip di dalamnya, isinya sudah remuk dan basah, kemungkinan meleleh. Aku duduk disamping Chica dan meraih tangan yang lemah. Kini air mata sudah membasahi wajahku dan tanpa sadar aku berbisik lirih. “Chica, kamu harus sembuh, ya. Kak Tiza janji bakal ngijinin kamu bobo di kamar Kakak. Kakak janji bakal ngebantu kamu ngerjain pe-er. Kakak janji bakal sayang sama Chica. Tapi Chica harus bertahan. Harus….., karena Kakak cuma punya kamu. Kakak gak mau kehilangan lagi. Gak mau, Sayang.” Aku mengecup tangannya sepenuh hati, mengucap permohonanku kepada Tuhan.


By : Ristra Arditha
Comments
0 Comments
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...